Selasa, 05 Maret 2013

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN

Bilamana dianalisis secara mendalam, setidaknya terdapat tiga pendekatan kepemimpinan, yaitu: (1) Pendekatan sifat, (2) Pendekatan perilaku, dan (3) Pendekatan kontingensi.


1. Pendekatan Sifat

Secara historis, mula-mula timbul pemikiran bahwa pemipin itu dilahirkan, bukan dibentuk atau karena pengalaman. Pemikiran ini disebut Hereditary (turun-temurun). Namun demikian, kemudian muncul teori baru, yaitu teori Physical characteristic. Teori ini dikemukakan oleh Sheldon, bahwa ada 76 tipe struktur badan yang berhubungan dengan perbedaan temperamen dan kepribadian. Perkembangan terakhir menyatakan bahwa pemimpin itu dapat dibentuk atau dilatih.
Sebagai contoh dari pendekatan sifat adalah menurut Thierauf, Klekamp, dan Geeding (1977: 493), yang menyatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, inisiatif, daya khayal, bersemangat, harapan baik, keberanian, keaslian, kesediaan menerima, kemampuan berkomuniasi, rasa perlakuan yang wajar terhadap semua orang, kepribadian, keuletan, manusiawi, kemampuan mengawasi, dan ketenangan diri. Terry (1972: 470) merinci bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, inisiatif, kekuatan dan dorongan, kematangan perasaan, meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, daya cipta, dan berperan serta dalam pergaulan. Stogdill (1984) menyatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, berilmu, dapat diandalkan dalam pelaksanaan pertanggungjawaban, aktifitas dan peran serta sosial, dan status sosial ekonomi. Treeman dan Taylor (1950) juga menyatakan bahwa seorang pemimpin memiliki sifat: tekun, giat, keras hati, bercita-cita, kuat, berani, kerja sama, percaya diri, tenang, riang, berjiwa matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mendahulukan kepentingan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia kepada cita-cita berakhlak, dan lapang dada (sabar).
Feldman dan Arnold (1983) menyatakan bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki (1) sifat-sifat pribadi: penyesuaian diri, giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan kontrol, kebebasan (tidak penurut), keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri; (2) kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, membuat keputusan, pengetahuan luas, pandai berkomunikasi ; dan (3) kemahiran sosial: kemampuan bekerja sama, kemampuan administrasi, populis dan berwibawa, suka bergaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan serta pandai berdiplomasi. Sutarto (1998) menyatakan bahwa sifat-sifat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: taqwa, sehat, cakap, jujur, tegas, setia, cerdik, berani, berilmu, efisien, disiplin, manusiawi, bijaksana, bersemangat, percaya diri, berjiwa matang, bertindak adil, berkemauan keras, daya cipta asli, berwawasan situasi, berpengharapan baik, mampu berkomunikasi, berdaya tanggap tajam, mampu menyusun rencana, mampu melakukan kontrol, bermotivasi kerja sehat, memiliki tanggung jawab, satunya kata dan perbuatan, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Fakri Gaffar (2002) menyatakan bahwa manajer pendidikan dituntut memiliki karakteristik, yaitu memiliki wawasan nasional, wawasan daerah, dan wawasan global, memiliki komitmen dan kemauan tinggi untuk membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat daerah, dan masyarakat bangsa; memiliki cinta bangsa yang amat mendalam tanpa membedakan asal suku, agama, tempat tinggal, status ekonomi, gender, dan warna kulit; memiliki sikap terbuka, dan sikap menerima kenyataan hidup yang dihadapi dengan penuh cermat dan hati-hati; memeliki akhlak yang mulia, dan iman taqwa yang kuat; memiliki sikap profesionalisme yang tinggi; memiliki cinta lingkungan hidup; memiliki rasa hormat kepada setiap orang sebagai manusia; memiliki keikhlasan dan kesabaran untuk melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan; memiliki pemahaman yang memadai tentang manajemen, tentang pendidikan, tentang teknologi informasi termasuk komputer, dan memiliki sikap akademik yang integratif.
Pendekatan sifat tentang kepemimpinan bersifat tidak absolut sebab tak seorangpun yang bisa memiliki sifat-sifat secara lengkap dan utuh, bahkan situasi yang dihadapi organisasi berbeda satu sama lain, sehingga setiap organisasi menuntut keberadaan sifat-sifat kepemimpinan yang berbeda. Dalam hal ini Freeman and Taylor (1950) menyampaikan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada pribadi pemimpin, dan sifat-sifat yang seharusnya tidak ada pada seorang pemimpin. Sifat-sifat tersebut dapat dilihat pada tabel 1.


2. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan didasarkan pada suatu pemikiran bahwa keberhasilan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan gaya bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan tampak dari: cara melakukan suatu pekerjaan, cara memberikan perintah, cara memberi tugas, cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara memberikan bimbingan, cara menegakkan disiplin, cara memimpin rapat, cara mengawasi pekerjaan bawahan, cara menegur kesalahan bawahan. Berdasarkan pengamatan pada gaya bersikap dan bertindak, seorang pemimpin dikatakan memiliki gaya kepemimpinan otoriter, atau demokratik.
Pendekatan perilaku yang melahirkan beberapa teori gaya kepemimpinan, penelitiannya telah dilakukan oleh: Universitas Iowa, Universitas Ohio, Universitas Michigan, studi managerial Grid, teori empat sistem manajemen, serta teori X dan Y.



Sifat-sifat yang Harus dan Tidak Harus Dimiliki Pemimpin


Pemimpin Seyogyanya


1. Rajin

2. Giat

3. Keras hati

4. Kuat

5. Berani

6. Bekerja sama

7. Yakin diri (tenang)

8. Riang

9. Matang emosi

10. Efisien

11. Cerdas

12. Berbakat

13. Banyak akal

14. Penuh daya khayal

15. Mengutamakan orang lain

16. Tak mementingkan diri

17. Setia pada cita-cita

18. Susila

19. Lapang dada

20. Adil

Pemimpin Tidak Seyogyanya 


1. Malas
2. Keras kepala

3. Tidak konsisten

4. Menunda-nunda

5. Malu

6. Pengecut

7. Tidak mau mundur

8. Gelisah

9. Kaku

10. Tidak matang

11. Gegabah

12. Tak berdaya jika ditekan

13. Melarikan diri (jemu)

14. Beralasan bebas dari salah

15. Tak bermutu

16. Sombong

17. Fanatik

18. Bandel

19. Tak masuk akal

20. Asusila


Studi kepemimpinan Universitas Iowa merumuskan tiga gaya kepemimpinan: (1) authoritarian (otoriter), autocratic (otokratis), dictatorial (diktator); (2) demokratic (demokratis); dan (3) laiseez faire (kebebasan), free-rein (bebas kendali), dan libertarian (kebebasan).

Beberapa ciri gaya otoriter oleh Agarval (1982) dinyatakan bahwa “authocatic or authoritarian: These kind of leader give definite in struction, demand compliance, emphasize task performance influence on decisioons, do not welcome suggestions from them, use coercion, threat and authority to enforce disciplin and unsure performance.”

Hal ini berarti gaya kepemimpinan otoriter memiliki ciri-ciri: instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekankan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, ijin sangat sedikit, tiada bawahan mempengaruhi keputusan, tiada saran dari bawahan, memakai paksaan, ancaman dan kekuasaan untuk melaksanakan disiplin serta menjamin pelaksanaannya.

Gaya kepemimpinan demokratik, adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang telah ditentukan bersama antara pemimpin dan bawahan. Gaya kepemimpinan demokratis hasilnya mungkin tidak setinggi gaya otoriter tetapi kualitasnya lebih tinggi dan terjadi komunikasi antara pemimpin dan bawahan, saling berpendapat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan penghargaan hak-hak seseorang.

Kepemimpinan gaya kebebasan atau liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan dan akan dilakukan atau diserahkan kepada bawahannya. Hick dan Gullett menyatakan bahwa ciri-ciri kepemimpinan gaya liberal, pemimpin mencoba melaksanakan sangat sedikit kontrol atau pengaruhterhadap anggota, anggota menentukan tujuan dan diberi kebebasan untuk memutuskan bagaimana cara mencapainya.

Dalam organisasi yang dipimpin dengan gaya demokratis, peran aktif dilakukan baik oleh pemimpin maupun bawahan secara seimbang. Dengan kepemimpinan gaya demokratis, kesempatan beperan aktif sangat terbuka, sehingga menimbulkan kepuasan bagi semua pihak. Organisasi yang dipimpin dengan gaya otokratis, peran aktif hanya dilakukan satu pihak saja, yaitu pimpinan. Sebaliknya, gaya liberal, peran aktif hanya dilakukan oleh bawahan saja. Kedua gaya tersebut di atas akan menimbulkan ketidakpuasan.

Staf peneliti Ohio merumuskan kepemimpinan sebagai perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu grup ke arah pencapaian tujuan tertentu. Dalam hal ini pemimpin mempunyai deskripsi perilaku atas dua demensi, yaitu struktur pembuatan inisiasi (initiating structure) dan perhatian (concideration).

Struktur pembuatan inisiatif menunjukkan kepada perilaku pemimpin di dalam menentukan hubungan kerja antara dirinya dengan yang dipimpin, dan usahanya di dalam menciptakan pola organisasi, saluran komunikasi, dan prosedur kerja yang jelas. Adapun perilaku perhatian (concideration), menggambarkan perilaku pemimpin yang menunjukkan kesetiakawanan, bersahabat, saling mempercayai, dan kehangatan di dalam hubungan kerja antara pemimpin dan anggota staf. Kedua perilaku inilah yang digali dan diteliti oleh penelitian Universitas Ohio.

Pusat penelitian dari Universitas Michigan juga melakukan studi kepemimpinan yang waktunya hampir bersamaan dengan universitas Ohio. Pada tahun 1961 Rensis Likert memimpin penelitian dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip produktivitas kelompok, dan kepuasan anggota kelompok yang diperoleh dari partisipasi mereka. Likert (1967) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem, yaitu: (1) exploitative authoritative (otokratis pemerasan), (2)benevolent authoritative (otokratis bijak), (3) consultative leadership (kepemimpinan konsultasi), dan (4) participative group leadership (kepemimpinan peranserta kelompok).

Otokratis pemerasan, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa segala masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pimpinan. Seperti halnya ciri-ciri kepemimpinan otoriter, gaya otokratis pemerasan juga mengandung ciri-ciri wewenang mutlak, tidak ada pelimpahan wewenang, cenderung adanya paksaan, ancaman, hukuman, komunikasi satu arah, perhatian lebih tinggi pada produksi, mengutamakan keberhasilan tugas, tidak ada kepercayaan pada bawahan, dan tidak ada perhatian terhadap gagasan bawahan.
Otokratis bijak, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa sebagian masalah yang timbul dalam organisasi, diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian sistem (1) dan (2) ini pada dasarnya sama. Perbedaannya, bawahan sudah diberi kesempatan menyampaikan gagasannya dan keleluasaan untuk melaksanakan tugas.

Kepemimpinan konsultasi, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa dalam menetapkan tujuan, memberi perintah, dan membuat keputusan melalui konsultasi dengan bawahan. Hal ini berarti bawahan diberi kesempatan untuk berpartisipasi.

Kepemimpinan peranserta kelompok, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa semua masalah yang timbul dalam organisasi dipecahkan bersama antara pimpinan dan bawahan. Gaya kepemimpinan ini, mempercayai bawahan memperhatikan pendapat bawahan, menciptakan kebersamaan, dan adanya komunikasi dua arah.

Berdasarkan empat sistem gaya kepemimpinan di atas, maka kepemimpinan peranserta kelompok merupakan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk mencapai kualitas, baik dari segi proses maupun produk dalam suatu organisasi.

Studi kepemimpinan manajerial grid, yang diketuai oleh Robert R. Blake dan Jane S. Mouton menghasilkan dua aspek penting yang berhubungan dengan aktifitas seorang manajer, yaitu: produksi dan hubungan antar manusia.

Jika seorang manajer memikirkan produksi, maka harus dipahami sebagai suatu sikap bagi seorang pemimpin untuk megetahui berapa luas dan anekanya suatu produksi itu. Dalam hal ini, ia harus mengetahui kualitas keputusan atau kebijakan-kebijakan yang diambil, memahami proses dan prosedur, melakukan penelitian dan kreativitas, memahami kualitas pelayanan stafnya, melakukan efisiensi dalam bekerja, dan meningkatkan volume dari suatu hasil. Adapun memikirkan tentang orang-orang dapat diartikan dalam pengertian dan cara yang luas. Hal ini meliputi: komitmen pribadi terhadap pencapaian tujuan, pertahanan harga diri dari pekerja, memberi kepercayaan kepada pekerja, pemeliharaan kondisi tempat kerja, dan kepuasan hubungan antar pribadi.

Menurut Blake dan Moulton, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya yang ekstrim, dan satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim. Gaya kepemimpinan yang dimaksud yaitu: (1) manajer sedikit sekali usahanya memikirkan orang-orang yang bekerja dengannya, dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh oganisasi. Dalam grid ini manajer dianggap sebagai perantara yang hanya mengkomunikasikan informasi dari atasan kepada bawahan; (2) manajer mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer dalam grid ini dapat dikatakan sebagai manajer tim yang riil (the real tim manager); (3) gaya kepemimpinan manajer pada grid ini mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam organisasi, tetapi pemikirannya mengenai produksi rendah. Manajer semacam ini sering dinamakan sebagai pemimpin klub (the country club management); (4) pada grid ini manajer menjalankan tugas secara otokratis (autocratic task manager), yaitu bahwa manajer hanya selalu memikirkan tentang peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawab pada orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Adapun satu gaya yang berada di tengah-tengah, berusaha mencoba membina moral orang-orang yang bekerja dalam organisasi, dan produksi dalam tingkatan yang memadai, tidak terlampau mencolok, artinya tidak menetapkan target terlalu tinggi sehingga hasilnya sulit dicapai, tetapi berbaik hati mendorong orang-orang untuk bekerja lebih baik.
Studi kepemimpinan empat sistem manajemen adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rensis Likert pada temuannya di Universitas Michigan.
Teori X dan teori Y, adalah studi kepemimpinan yang dibangun oleh Mc Gregor (1966), yang menyatakan bahwa organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralistik dalam pengambilan keputusan, hubungan piramida antara atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja secara eksternal, pada hakekatnya sesuai dengan asumsi-asumsi tentang sifat-sifat manusia dan motivasinya. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam organisasi lebih suka diperintah, tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, dan menginginkan rasa aman. Oleh karena itu sebagian besar orang dalam organisasi perlu diberi motivasi dengan uang, gaji, honorarium, dan perlakukan melalui sangsi hukum. Dengan demikian manager akan berusaha mempolakan, mengontrol, dan mengawasi secara langsung kepada bawahannya. Menurut asumsi teori X, bahwa sebagian besar orang dalam organisasi memiliki sifat-sifat (Miftah Thoha, 1986): (1) tidak menyukai pekerjaan, (2) tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah, (3) mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi, (4) hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja, dan (5) harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Gregor, asumsi teori X di atas secara universal sulit diimplementasikan, bahkan mungkin banyak yang mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan organisasi, sebab manajemen berdasarkan perintah atau kontrol yang ketat tidak akan banyak berhasil. Menyadari kelemahan dari asumsi teori X, maka Gregor memberi alternatif teori yang lain, yaitu teori Y. Teori ini menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam suatu organisasi tidak malas dan dapat dipercaya. Asumsi teori Y mengenai manusia dalam organisasi adalah sebagai berikut (Miftah Thoha, 1986): pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang. Bekerja dan bermain merupakan aktifitas-aktifitas fisik dan mental, sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika semua keadaan sama-sama menyenangkan, (2) manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi, (3) kemampuan untuk berkreatifitas di dalam memecahka masalah-masalah organisasi secara luas didstribusikan kepada seluruh karyawan, (4) motivasi tidak saja berlaku pada kebtuhan-kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, tetapi juga pada tingkat kebutuhan fisiologi dan keamanan, (5) orang-orang dapat mengendalikan diri dan kretif dalam bekerja, jika dimotivasi secara tepat.
Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada orang yang bersifat buruk mutlak, ataupun sebaliknya bersifat baik mutlak, oleh karenanya perlu perpaduan antar keduanya, agar supaya organisasi dapat berhasil mencapai tujuannya. Dalam hal ini Urwick (1974) menawarkan teori Z, yang menyatakan bahwa apabila dalam kondisi kerja yang baik, pengarahan dilakukan melalui perpaduan teori X dan teori Y. Artinya, pada suatu ketika, seorang pemimpin memang harus menggunakan cara yang halus, hanya sedikit mengontrol, memerintah dengan sikap permintaan, kesukarelaan bersifat bertanya, tetapi pada kesempatan yang lain seorang pemimpin harus berani bertindak tegas, melakukan kontrol secara ketat, memerintah, menyalahkan, dan menghukum. Teori Z juga dikemukakan oleh Ouchi, yang menyatakan bahwa produktivitas akan meningkat apabila melibatkan para pekerja.


3. Pendekatan Kontingensi

Pendekatan kontingensi juga sering disebut pendekatan situasional (situational approach), terdiri dari berbagai macam model, antara lain: model kepemimpinan kontingensi dari Fiedler, model tiga demensi kepemimpinan dari Reddin, model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt, model kontinum kepemimpinan berdasarkan banyaknya peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dari Yetton, model kontingensi lima faktor dari Farris, model kepemimpinan dinamika kelompok dari Cartwright dan Zander, model kepemimpinan path-goal dari vans dan House, model kepemimpinan vertikal Dyad Linkage dari Grean, model kepemimpinan sistem dari Bass, dan model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard.

Model kepemimpinan berdasarkan pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional, model kontinum kepemimpinan Tannenbaum dan Schmidt, model kepemimpinan path goal dari Evans dan House, model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard perlu mendapat kajian mendalam.

Menurut Tannenbaum dan Schmidt, ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih gaya kepemimpinan, yaitu: kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model kontinum merupakan satu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin, dan diakhiri dengan titik yang menujukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.

Model kepemimpinan path-goal dari Evans dan House,menyatakan bahwa motivasi individu didasarkan pada harapan atas imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai sumber imbalan. Pemimpin memiliki sejumlah syarat untuk mempengaruhi bawahan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah kemampuan menajer untuk memberikan imbalan dan menjelaskan apa yang bawahan harus kerjakan untuk memperoleh imbalan tersebut. Menurut pendekatan ini ada dua macam variabel yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yaitu: ciri-ciri pribadi bawahan, dan tekanan lingkungan atau tuntutan di tempat kerja.
Di samping itu dibedakan juga empat gaya kepemimpinan, yaitu: pemimpin pengarah (leader directiveness), pemimpin pendukung (leader supportiveness), kepemimpinan peranserta(participative leadership), dan kepemimpinan berorientasi prestasi(achievement oriented leadership).

Model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard, didasarkan pada saling pengaruh antara sejumlah petunjuk dan pengarahan (perilaku tugas) yang pemimpin berikan; dan tingkat kesiapsiagaan (kematangan) yang para bawahan tunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau sasaran.

Hersey dan Blanchard membedakan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (1) Telling, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi tugas-rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, dan pimpinan menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjaan itu harus dilakukan. (2) Selling,merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi tugas dan hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan pemimpin mulai melakukan komunikasi dua arah. (3) Participating, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi hubungan dan rendah tugas, pemmpin dan bawahan saling memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan bersama- sama membuat keputusan. (4) Delegating, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: rendah hubungan dan rendah tugas, dan pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan.

2 komentar: